Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Oktober 2014

Chocolate



Cokelat




By evitarahmaa (on twitter @evitarahm)


Park Jimin, OC Talita

Fluff, school-life!AU, Teen

.

“Kalo coklat aja manis, apalagi kamu?”

.

Talita tidak pernah menyangkal betapa menariknya tatapan mata seorang Park Jimin yang berlemak ganda itu. Tapi, tatkala ditanya apa yang menarik dari Jimin, ia lebih memilih menjawab pipi gembulnya. Talita tak pernah mau mengakui bahkan jika diberi hadiah liburan ke Lost Angeles—pun. Tak akan mau.

Iya, itu eksistensinya beberapa hari yang lalu. Namun dengan berjalannya waktu, ia tak bisa lebih senang tatkala tatapan Jimin selalu terfokus padanya. Yang mana membuat jantungnya bermaraton—padahal Jimin tahu, hari itu masih pagi—oh, bahkan setiap harinya. Dan itu membuat harinya selalu dipenuhi keterkejutan. Dan, ini akibat jantungnya bermasalah, itu gara-gara Jimin!

“Gara-gara Jimin, iya Jimin, uh”

Talita tak pernah menyadari bahwa pemikiran yang ada dihatinya selalu ia ucapkan dengan tak sadar dan itu tak pernah pelan. Dan kali ini, ia harus membungkam mulutnya rapat-rapat, karena seisi ruangan di kelasnya tengah menatapnya sambil menahan tawa.

“Hei—ada apa dengan Jimin, huh?” Itu dari Guru Jang yang terkenal killer di sekolah dan ia mulai mendekati gadis itu. Alis tebalnya menukik tinggi dan tatapan memicing darinya mampu membuat lumpuh sejemang syaraf di kaki-kaki gadis tadi. Manik bulatnya yang cokelat melebar penuh sampai keujung alisnya.

“Talita, kamu sakit, ya?” bisik teman di sampingnya, sebelah tangannya ia gunakan untuk menutupi tawa yang siap membuncah kapan saja.

Dan semakin banyak tawa kecil yang keluar dari seisi kelas, makin padam pula warna wajahnya. Talita tak yakin darah di kakinya masih mengalir, karena ia pikir seluruh darahnya teralih di wajahnya, dan itu membuatnya panas. Talita antara ingin menangis dan berteriak tak terima pada seorang yang mengucap tadi.

Tapi, ini salahnya juga—

Tidak! Sudah jelas ini salah Jimin yang telah meracuni seluruh akal sehat Talita dengan segala polah yang tertangkap maniknya. Itu tidak lebih buruk daripada harus keluar dari pelajaran Guru Jang dan memanggang kulitnya dibawah matahari jam dua belas seperti ini.

“TIDAK—“

Kan, apa di bilang. Semua yang ia pikirkan selalu terucap di mulutnya dan itu membuatnya malu sendiri.

“Talita, kamu kenapa?” Guru Jang yang memiliki rambut yang telah memudar warnanya itu hanya menyedekapkan kedua tangannya didepan dada, menunggu eksistensi seorang halusinator seperti Talita.

“Maaf, Bu. Minta ijin ke ruang kesehatan. Badan saya tidak enak,”

“Baiklah.”

Talita tak bisa lebih lega karena Guru Jang yang terkenal guru bermata jeli itu—uh, ini terdengar kasar—mengijinkan syaraf di otaknya untuk sedikit relaks.


.


Ketika pantatnya telah mendarat pada ranjang asrama di sekolahnya, ia tak melakukan apapun—kecuali bernafas. Ini membuatnya dilanda bosan. Sejemang, pemikiran bak mutiara yang berhujanan di otaknya pun memulai eksperimennya hari ini.
Daripada tak mengikuti pelajaran, lebih baik kalau ia pulang dan membantu Ibu memasak. Iya, tidak? Kenapa tak kepikiran daritadi, sih?

Dengan wajahnya yang bersinar terang, ia menyeret kakinya keluar dari asrama.
Belum sampai pada koridor utama di sekolahnya, teriakan yang agaknya familier di indera pendengaran Talita datang menyahut.

“Talita, mau kemana?”

Bagaimana tidak familier kalau saja ia adalah orang yang membuatnya dilanda malu setangah mati pada pelajaran Guru Jang siang tadi? Sialan Jimin!

“Mau pulang.”

“Bolos, ya?”

Aku bolos apa tidak kalau begini?

“Tidak. Eh, iya. Aku tidak tahulah,” Jimin hanya mengerutkan keningnya kala wajah Talita berubah padam.

“Kamu sakit, ya?”

Uh, jadi aku sakit beneran? Talita menahan dirinya untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri. Apalagi ini dihadapan si Jimin yang mempunyai lemak ganda itu.

Tapi ajakan untuk tak membuatnya malu runtuh kala tangan Jimin terulur untuk menyentuh keningnya. “Mau minum coklat?”

I-iya, boleh.

“Tidak, aku tidak mau merepotkan.”

Talita tak tahu kenapa ketika di depan Jimin ia lebih suka menahan dirinya untuk tidak menuruti permintaan hatinya. Ia menolak sudah beberapa kali dan itu tak menjadi beban selama ia bersama Jimin. Kalau menurut Talita, ini sebuah sindrome jika jauh dengan orang yang kau sukai.

“Tidak apa-apa.”

Dan Talita tak pernah menyangka kenapa Jimin mau saja menarik tangannya yang sudah jelas-jelas tidak lentik dan terlihat mungil jika sudah digenggaman jemari Jimin. Tapi menurut Talita, inilah yang namanya cocok dan pas.

“Terima kasih,”

Talita menahan dirinya untuk tidak berteriak pada pengunjung kafe yang lain kalau dirinya sedang bersama Jimin. Berdua saja. B-E-R-D-U-A.


“Kalau coklat saja manis, apalagi kamu?”


.


Uh, romantis sekali.


Itu pendapat Talita, sebelum ia kehilangan nyawanya dalam sejemang, yang disusul oleh teriakan penuh khawatir Jimin menggema di telinganya.


Dan, itu bak pisau dijantungnya.


.

Karena...
.


“TALITA KAMU MIMISAN—“


.

Oh, tidak.





_fin.

A/N:
Thanks for reading, but mind to review please? ;;-;;
I want some likes and your comment~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar