Monday
Lunch
by @evitarahm
Cast: Kim
Taehyung, OC Talita // Genre: Fluff,
School-life // Rate: PG // Length: >1000words
*****
Sebelumnya ini tampak
baik-baik saja, Taehyung yang ada di tempatnya duduk, belajar
menggambar. Jimin dan Jungkook yang asik mengobrol dengan pikiran
masing-masing, yah gurunya galak, sih.
Hoseok yang asik mengelap ingus, kebiasaan kalau takut ia sering kedinginan. Tapi
ada yang janggal sampai Guru Jang memanggilku untuk maju kedepan, katanya
privasi. Makanya aku mendekatkan diriku di samping tubuh Guru Jang yang tak
kusangka menyuruhku melakukan hal keji pada seseorang disampingku.
Aku mengerjap tak paham,
sedetik langsung mendapat pelototan Guruku yang terkenal killer ini. Aku
berjalan menuju bangku yang di tempati Taehyung, lalu berpura-pura menggebrak meja.
Tak tahu kenapa, Taehyung malah mengernyit heran, wajar sih. Mungkin karena wajahku yang sok galak itu, padahal Taehyung sepertinya tahu ini hanya
pura-pura.
“Kamu kenapa?”
Bodoh. Udah tau seisi
ruangan memperhatikan tingkahku yang –
kuyakini sangat jarang
kulakukan karena akupun hanya seorang kutu buku yang pendiam. Tapi malah tanya
kenapa, aku ini hanya suruhan seorang guru, dasar.
“Keluar,” Aku, sih, udah ngira suaraku cukup keras.
Tapi bukannya takut, Taehyung malah ketawa ngikik.
“Jangan tertawa, Kim
Taehyung. Cepat keluar!”
Oh, maafkan aku. Kurasa
seruangan ini hanya ada satu-dua anak yang berani tertawa kencang di depan Guru
Jang. Aku yakin ini suara si pipi babi, Jimin dan teman sekongkolannya,
Jungkook. Mereka tak berhenti tertawa lepas sampai akhirnya juga di peringati
oleh Guru Jang.
Ruangan kembali hening, dan
Taehyung hanya menatapku tak percaya sebelum melangkah keluar dari pelajaran
Guru Jang.
>
“Hey, Taehyung” Lamat-lamat
aku mendengar suara Jungkook dari pintu masuk kantin yang terbuka lebar. Tapi
ketika manikku menelisik ruangan yang luasnya seperti lapangan basket ini, aku
tak kunjung menemui si sumber suara yang tampaknya asik dengan pemilik nama
yang dipanggilnya.
“Taehyung dimana, sih?” Gumamku pelan.
“Mencari Taehyung? Dia di
ruang kesehatan, tuh.” Menengokpun
aku tak sempat, aku hanya bergelayut dengan wajah pucat Taehyung, ringkihannya
dan hal mengenaskan lainnya yang biasanya kulihat kala ia sakit. Suara orang
yang memberitahuku tadi bahkan seperti membias bersama uap panas kuah sup yang
baru saja kubeli.
Aku berlari melawati
beberapa orang yang berlalu lalang di depanku. Sejemang hatiku ikut bergetar
mengingat betapa kejamnya aku barusan. Perlakuanku kan sudah keterlaluan, hey
menyuruh orang berdiri di depan tiang bendera jam dua siang terlalu keji. Ah,
Taehyung, tolong salahkan saja Guru Jang yang galak itu.
“Taehyung,” Baru saja aku
memutar kenop pintu ruang kesehatan itu, tapi panggilan yang agaknya memang
suara anak perempuan itu mengurung niatku. Aku bisa saja menguping karena
penasaran siapa gerangan yang menjaga Taehyung, tapi aku ini kan bukan
siapa-siapanya. Untuk apa aku menguping?
Niatnya sih ingin berbalik pergi dari situ, tapi ketika tangan seorang yang
menyentuh lenganku, sepertinya hal itu dapat membuatku berhenti di kaki.
“Talita, ya?”
“Uh, ya...”
Ketika aku berbalik, aku
hampir tak menyangka, dia ini bidadari apa manusia? Kenapa cantik sekali.
Bahkan dibanding dengan tampilan rambut saja aku kalah, karena model rambutnya
itu seperti artis papan atas dan aku hanya seperti kuli bangunan, model kuno
kucir kuda.
“Taehyung mencarimu, tuh.” Katanya.
“Oh, terima kasih,”
Dan begitu saja, ia
tersenyum lembut. Ya, seperti seorang tipe ideal semua pria, tingkahnya anggun,
baik, dan seluruh kalimat pujian pun pantas untuknya.
Aku melangkah dengan gugup,
tak tahu penyebabnya apa. Lagipula aku hanya akan bersiap mendapati ceramahnya,
kan?
“Taehyung, boleh aku masuk?”
“Masuk, aja, Ta” Begitu. Dan
ketika aku memasuki ruangan putih dan penuh kotak obat-obatan itu, masih terasa
asing karena ini pertama kalinya aku memasuki secara langsung untuk sekedar
ngobrol atau mendengar ceramah atau apalah.
Dia terbaring dengan wajah
pucatnya, aku yakin seratus lima persen penyebabnya aku. Kalau jika saja bukan,
itu pasti juga karena lelah dan kepanasan. Keringatnya memang belum sepenuhya
kering, tapi setidaknya aku menyadari ia baru saja tiba di ruangan ini.
Lagipula, sepatunya juga belum dilepas, menandakan bahwa lagi beberapa menit ia
disini.
“Uhm, kamu gak kenapa-kenapa?”
Kududukkan pantatku dikursi putih kayu yang
memang disediakan disana, yang kebetulan menghadapnya dari samping.
Ia menilikku dengan tajam,
terlihat tak bisa menerima perlakuanku.
“Hey, yang seperti ini masih
bisa kau tanya?” jeritnya dengan suara serak.
“Maafkan aku,” kataku,
menyodorkan sebuah sapu tangan yang tak sengaja kutemukan di saku bajuku. “Ini,
untuk megelap, itu, keringat”
“Memangnya aku masih kuat?
Bantu...” sial. Sial. Sial. Kenapa lagi dengan si tengik ini. Manjanya tak
pernah hilang bahkan keadaan sakit pun?
Tapi anehnya aku menurutinya
untuk menghapus keringat yang menggantung didahinya. Sedikit mirip drama yang
setiap hari kutonton, sih. Namun aku
juga menikmati setiap adegan yang bergulir antara aku dan Taehyung.
Lagipula dia cocok untuk
peran laki-laki roman—
“Ta, sepatuku...”
tos. Iya, laki-laki romantos
yang keji sama ratunya.
Ah, dasar Kim Taehyung
bodoh.
“Apa aku sakit jantung, ya?”
Tidak. Aku melotot padanya,
merasakan jantungku berpacu cepat tatkala penyataan darinya yang membuatku
hilang kendali.
Sakit jantung katanya?
Tidak, tidak mungkin. Kumohon jangan biarkan temanku ini merasakan umur yang
singkat dalam hidupnya, itu terdengar menyedihkan. Apalagi jika terkena serangan
jantung mendadak bisa-bisa—
“Sepertinya aku menyukaimu,”
Hah?
Apa katanya? Paru-parunya
tinggal satu? Eh, apa?
“Aku menyukaimu, bodoh.”
“Kok bisa?”
“Entahlah, kamu spesial aja
buat aku.”
Oh, Tuhan. Aku bisa-bisa
meledak dengan kata-kata yang terlontar dari bibirnya barusan. Aku membuang
sapu tangan yang kugunakan untuk mengelap keringatnya, secara reflek. Taehyung
terkekeh pelan dengan cengiran lebarnya yang familiar di pandanganku.
“Tae... Jangan bercanda,”
aku tertawa miris, mirip seperti tetanggaku yang kehilangan anak anjingnya.
Menghindari tatapannya yang menembus seluruh akal pikirku. Ia beranjak dari
tidurnya, berputar menghampiriku yang masih terduduk di kursi putih itu.
Tangannya meraih jemariku lembut.
”Ta, aku serius. Kamu pikir
aku tak pernah serius dengan kata-kataku? Aku menyukaimu. Tak tahu kenapa, tiap
kali kamu hadir di depanku, jantungku udah mirip sama orang sekarat. Aku suka
sama kamunya sih tulus, Ta. Bahkan
kamu ngehukum aku diluar sampai aku sakit aja
aku terima. Coba kalau tadi yang disuruh Guru Jang itu Hyorin, aku yakin sudah gak selamat hidupnya.”
Bukannya ketawa sampai
perutku berlubang, aku malah mau nangis. Bukan sama kata-katanya yang gak romantis sama sekali. Tapi
setidaknya, sorot tulus matanya menjelaskan itu semua.
“Kamu mau kan jadi pacarku?”
“Gak mau...”
Ia berjengit sedikit
sebelumnya, tapi setelahnya tersenyum hangat kala aku melanjutkan. “Gak mau nolak,”
“Jadi...” Ia menggaruk
tengkuknya yang kuyakini tak gatal sama sekali. Malah merusak tatanan rambutnya
yang kelewat halus itu. Ia tersenyum hangat sebelum akhirnya mendekapku di
rengkuhannya. “Sekarang kamu pacarku, kan?”
Sebenarnya, tak salah juga
Guru Jang menyuruhku menghukumnya, aku malah mendapat makan siang hari senin
begini. Tentu saja dari Taehyung, hehe.
_fin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar